DPR RI Dalami Adanya Isu Dugaan Mark Up Impor Beras Bulog hingga Rp8,5 Triliun
Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron berharap pengecekan di gudang Bulog dapat memberikan gambaran jelas atas isu adanya dugaan mark up impor beras yang menelan kerugian negara hingga Rp8,5 triliun rupiah.
Dikatakannya, pihak DPR RI segera melakukan pengecekan ke pelabuhan serta gudang bulog untuk mendalami dugaan mark up terkait program impor beras.
Lanjut Herman, pihak DPR RI juga akan memanggil para jajaran dan direksi bulog untuk menjelaskan, sehingga dapat membuat terang isu penggelembungan harga impor beras bulog.
“Kami bukan hanya memanggil direksi bulog. Kami juga akan melakukan kunjungan ke pelabuhan dan gudang bulog,” kata Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron dalam keterangannya di Jakarta, Senin 15 Juli 2024.
Dalam pengecekan ke pelabuhan dan gudang bulog tersebut, menurut dia, akan dilakukan ketika masa reses DPR RI saat ini atau pada masa sidang terakhir.
“Pengecekan akan dilakukan, jika memungkinkan di masa reses ini, atau di masa sidang terakhir dalam periode ini,” ujar Herman Khaeron.
Kemudian, Herman Khaeron berharap pengecekan tersebut dapat memberikan gambaran jelas atas isu mark up impor beras yang diduga menelan kerugian negara hingga Rp8,5 triliun.
“Sisa waktu di periode ini mudah-mudahan bisa memberi gambaran apa yang terjadi,” katanya lagi.
Pada tanggal 3 Juli lalu, pihak Studi Demokrasi Rakyat sebelumnya telah melaporkan Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) ke KPK. Pelaporaan tersebut dilakukan atas dugaan penggelembungan harga beras impor.
Pada perkara ini, pihak Perum Bulog mengklaim telah menjadi korban tuduhan dan fitnah dugaan mark up harga terkait impor beras tersebut.
Hal ini juga disangkal dan dikatakan Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Arwakhudin Widiarso, bahwa laporan tersebut telah membentuk opini buruk di masyarakat terkait perusahaan yang dipimpinnya.
"Laporan tersebut yang dinilai tanpa ada fakta. Maka akan merugikan reputasi perusahaan yang telah dibina oleh Perum Bulog," tutur Arwakhudin Widiarso. (A/Ss)