Target Prioritas Swasembada Pangan, Mentan: Transformasi Pertanian Tradisional ke Modern
JAKARTA - Ada lima program yakni swasembada nasional, pengembangan komoditas ekspor strategis, peningkatan produksi susu untuk program pangan bergizi, program pekarangan pangan bergizi dan program mandiri energi B-50.
Hal tersebut dijelaskan Menteri Pertanian Amran Sulaiman ketika berbicara pada rapat kerja di Komisi IV DPR RI di Jakarta.
Menurut Amran, untuk mencapai swasembada pangan lima tahun mendatang itu, adalah dengan mencetak sawah seluas tiga juta hektare, optimalisasi sistem irigasi, transformasi pertanian tradisional ke pertanian modern, dan petani milenial/Gen Z untuk dilibatkan.
"Transformasi pertanian tradisional ke modern diyakini dapat menekan biaya produksi hingga 50 persen dan meningkatkan produksi hingga 100 persen," ucap dia.
Sementara program mandiri energi B50, ungkapnya, akan dicapai melalui peningkatan produksi minyak sawit mentah (CPO), peningkatan kapasitas industri biodiesel dan mengurangi ekspor CPO.
Program prioritas tahun 2025, kata dia, diantaranya meliputi program peningkatan produksi padi dan jagung, optimalisasi lahan, program cetak sawah, penyediaan benih dan pupuk subsidi, serta program pertanian modern berbasis petani millenial.
Lanjut Mentan Amran, Kementerian Pertanian akan menargetkan produksi beras tahun 2025 sebanyak 32,83 juta ton, sedangkan produksi jagung pada 2025 ditargetkan sebesar 16,68 juta ton.
Kemudian ia menyatakan, bahwa program intensifikasi/lahan pertanian seluas 80 ribu hektare, optimalisasi lahan seluas 350 ribu hektare dengan anggaran cetak sawah yang anggarannya tersedia di Kementan untuk luasan 150 ribu hektare.
"Target yang kita usulkan adalah seluas tiga juta hektare selama empat tahun," kata Mentan Amran Sulaiman di Jakarta, Kamis (7/11/24).
Selanjutnya, pemerintah menyisihkan anggaran Rp139,4 trilliun untuk membiayai seluruh program ketahanan pangan pada 2025, naik signifikan hingga 21,9 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rokhmin Dahuri mengatakan program swasembada pangan atau ketahanan pangan di Indonesia sudah memiliki sejarah panjang, yakni sejak Orde Baru pada era Presiden Soeharto.
Bahkan, ia menilai pada Kementerian Pertanian saat ini hanya memiliki dua strategi dalam mencapai swasembada pangan, yakni program pencetakan sawah dan optimalisasi lahan pertanian.
"Jadi jelaskan kepada kami kiat-kiat apa yang membuat Pak Amran bisa meyakinkan Pak Prabowo dan rakyat Indonesia bahwa melalui pencetakan sawah yakni swasembada pangan ini tidak akan gagal lagi, karena ini pertaruhan kita. Sekali ini gagal, sektor pertanian akan sulit untuk bangkit lagi," jelas dia.
Karena berdasarkan penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), kata dia, hanya seratus ribu hektare lahan yang cocok dijadikan sebagai sawah berdasarkan kedalaman gambut satu meter.
Namun pemerintahan sebelumnya, menurut dia, memaksakan program ketahanan pangan satu juta hektare di Kalimantan Tengah meski lahannya tidak cocok untuk ditanami padi.
Kemudian ia menyatakan, bahwa saat ini teknologi pertanian di Indonesia masih buruk dan sistem rantai pasokannya belum bagus. Lalu, yang menjadi masalah juga adalah kesejahteraan petani masih menjadi kantong-kantong kemiskinan.
"Hal ini dikarenakan sebagian besar petani masih merupakan petani gurem," kritik dia pada rapat kerja di Komisi IV DPR RI di Jakarta.
Ia juga menyebutkan 60 persen petani di Jawa cuma mempunyai sawah seluas di bawah 0,5 hektare. Padahal untuk dibilang sejahtera dengan penghasilan Rp 7 juta sebulan, menurut Bank Dunia, petani itu harus memiliki sawah seluas 1,5 hetare.
"Persoalan lainnya di bidang pertanian adalah penyusutan lahan pertanian. Setiap tahun, seratus ribu hektare hingga 150 ribu hektare sawah produktif dialihfungsikan," ucap Rokhmin.
Politikus PDIP Rokhmin mengakui, bahwa problem lainnya di sektor pertanian adalah 80 persen impor dilakukan oleh mafia pangan. Selain itu, akses petani terhadap kredit masih bermasalah.
"Usul saya, berkaitan dengan impor pangan. Impor hanya boleh dilakukan terhadap bahan pangan yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan hal ini mesti diatur," tutur Rokhmin. [S/Parlemen]