Undang-undang Cipta Kerja Diduga Buat Pekerja Rentan, Berikutnya Simak Penjelasan dari Dosen UGM

Undang-undang Cipta Kerja Diduga Buat Pekerja Rentan, Berikutnya Simak Penjelasan dari Dosen UGM

Smallest Font
Largest Font

Jakarta - Dosen Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada (UGM) Amalinda Savirani, menilai Undang-undang Cipta Kerja berisiko membuat kaum kelas pekerja makin rentan.

Sementara itu, dalam pernyataan terkait Undang-undang Cipta Kerja ini disampaikan oleh pihak pemohon dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin 9 Juli 2024.

Dimana dalam pernyataannya yakni terkait dengan uji materi Undang-undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945.

Adapun perkara bernomor 168/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, serta Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh.

Lalu, didalam permohonannya, mereka mengajukan 71 petitum yang pada intinya meminta MK membatalkan pasal-pasal terkait dengan sektor ketenagakerjaan dalam revisi Undang-undang Cipta Kerja.

Selain itu, pihaknya meminta agar MK mengembalikan norma yang sudah dicabut. Pada mulanya, Amalinda menjelaskan bahwa tren demografi di Indonesia adalah terus meningkatnya populasi tenaga muda yang akan memasuki lapangan pekerjaan.

Menurut dia, apabila penentuan Undang-undang Cipta Kerja tidak sensitif pada kesejahteraan kelompok tersebut, akan menghasilkan kelas pekerja yang berisiko sangat rentan terkait dengan hak mereka sebagai pekerja.

Kemudian Amalinda juga menyebutkan tiga hal yang membuat buruh dalam posisi rentan, yaitu pengurangan kesejahteraan buruh, mekanisme penentuan upah, dan formula penentuan upah.

Dalam Undang-undang Cipta kerja, kata ahli, terdapat hal-hal yang mengurangi kesejahteraan buruh, yaitu penentuan upah minimum, penghapusan aturan pesangon, aturan outsourcing tanpa batas, dan pemotongan uang pesangon.

Ia juga menyoroti penentuan upah dalam Undang-undang Cipta Kerja yang tidak lagi melibatkan dewan pengupahan atau forum tripartit dan meminimalkan peran serikat pekerja.

"Padahal, peran serikat pekerja adalah sangat sentral dalam upaya mendorong kesejahteraan kelompok pekerja melalui peran-peran aktifnya secara kolektif. Forum yang sangat demokratis ini justru tidak lagi ada dalam penentuan upah,” ujarnya lagi.

Terakhir, dalam aspek formula penentuan upah, dia mengkritisi penentuan yang menggunakan tiga variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

Namun, ahli dari pemohon menilai variabel indeks tertentu berisiko membuat buruh rentan karena tidak disebutkan siapa yang menentukan.

Dalam sidang tersebut, dia lantas merekomendasikan agar frasa tersebut dihapus atau ditegaskan penentuannya untuk memastikan hak pekerja dalam konteks pemberian upah.

Selain tiga hal tersebut, Amalinda juga menyoroti kebijakan ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada warga negara sendiri dan keberpihakan pada tenaga kerja asing.

"Dua konteks tersebut, yakni ekonomi dan demografi, sangat penting untuk dipertimbangkan oleh majelis hakim konstitusi terkait dengan revisi UU ini," ujarnya.

Sementara sidang yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon itu dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra. Hakim yang mendampingi adalah Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Guntur Hamzah, dan Arsul Sani.

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author