Partai Buruh Ajukan Permohonan Uji Materi UU Pilkada ke MK

Partai Buruh Ajukan Permohonan Uji Materi UU Pilkada ke MK

Smallest Font
Largest Font

Jakarta - Pengajuan permohonan uji materi pada Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Partai Buruh ke Mahkamah Konstitusi karena menurut Partai Buruh dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. 

Hal tersebut dikatakan oleh Said Salahudin bahwa akan menjadi pemohon, “Materi permohonan ke MK sudah disiapkan, tinggal menunggu beberapa pemohon tambahan dari perorangan bakal calon gubernur, bupati, dan walikota yang akan bersama-sama Partai Buruh menjadi pemohon di MK,” jelas Ketua Tim Khusus Pilkada Partai Buruh Said Salahudin dalam keterangannya di Jakarta, Minggu 12 Mei 2024.

Disebutkan pada Pasal 40 ayat (3) Undang-undang Pilkada mengatur bahwa hanya partai politik yang memiliki kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mengusung pasangan calon di kontestasi Pilkada. Menurut Partai Buruh, aturan itu tidak konstitusional, karena tidak adil.

"Aturan itu jelas tidak adil, karena setiap partai politik yang memperoleh suara pada pemilihan umum anggota DPRD tahun 2024, baik yang memperoleh kursi DPRD maupun yang tidak memperoleh kursi DPRD, seharusnya diberikan hak yang sama untuk mengusulkan pasangan calon,” ujar Said.

Kemudian Said juga menyebutkan, sejatinya telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 19 tahun lalu. Berdasarkan putusan MK ketika itu, kata dia, sejak Pilkada 2005 semua parpol diperbolehkan mengusulkan pasangan calon termasuk untuk partai politik yang tidak mempunyai kursi DPRD.

Selanjutnya, katanya sepanjang partai politik atau gabungan partai politik bisa mengumpulkan akumulasi suara sah sesuai persyaratan yang ditetapkan undang-undang Pilkada.

"Dahulu, dalam aturan Pilkada yang tidak serentak mulai tahun 2005–2013, syarat pengusulan pasangan calon dengan menggunakan perolehan suara ditentukan minimal 15 persen, maka pada masa itu semua partai politik non-seat pun bisa ikut mengusulkan pasangan calon di Pilkada dengan cara berkoalisi,” ujarnya.

Bahkan Said juga menjelaskan bahwa sejak ditetapkannya aturan pilkada serentak dengan skema peralihan (transitional provision) mulai 2015–2020, setidaknya ada dua perubahan aturannya.

Ambang batas (threshold) pengusulan pasangan calon dengan menggunakan perolehan suara dinaikan dari 15 persen menjadi 25 persen. Kedua, berubahnya aturan tentang partai politik yang diperbolehkan untuk mengusulkan paslon.

"Kalau sebelumnya berdasarkan Putusan MK, semua parpol yang memperoleh suara sah di pemilu boleh mengusulkan paslon, tetapi sekarang hak itu dibatasi hanya untuk partai politik yang mempunyai kursi DPRD saja. Di sini masalahnya,” ujar Said.

Menurut dia, pembentuk undang-undang Pilkada serentak seharunya tidak memuat norma yang substansinya sudah dibatalkan MK. Ia menyebut MK pernah mengatur pada ketentuan syarat pengusulan paslon menggunakan kursi atau menggunakan suara harus dimaknai sebagai alternatif diantara dua pilihan.

Terakhir ia menilai, kalau gabungan partai politik mau mengusung paslon dengan menggunakan kursi DPRD, dengan menggunakan perolehan suara pun diperbolehkan. Ketentuan itu berlaku bagi partai politik yang punya kursi maupun partai politik yang tidak punya kursi DPRD. (H)

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author